SURABAYA | Matarakyat.net – Kebijakan terbaru Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mulai berlaku pada 1 Februari 2025 telah menciptakan dampak yang jauh dari harapan. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang berupaya menertibkan distribusi LPG subsidi malah memicu gejolak di berbagai daerah. Langkah pemangkasan penyaluran LPG ke pengecer mengakibatkan antrean panjang di pangkalan resmi serta kelangkaan yang meresahkan masyarakat.
Di Surabaya, suasana pangkalan LPG berubah menjadi arena perjuangan masyarakat. Puluhan warga, termasuk lansia, harus rela berdesakan sejak pagi demi mendapatkan tabung gas 3 kg yang menjadi kebutuhan pokok sehari-hari.
“Saya sudah antre dari jam 5 pagi, tapi gasnya habis sebelum giliran saya,” keluh Sari (54), ibu rumah tangga yang terlihat lelah setelah berdiri berjam-jam.
Situasi yang sama terjadi di berbagai kota lainnya. Di Tangerang Selatan, insiden tragis menimpa Yonih (62), seorang lansia yang jatuh pingsan dan meninggal dunia usai mengantre gas. Peristiwa ini memicu kemarahan publik yang menilai pemerintah gagal melindungi kelompok rentan.
Meski di lapangan kelangkaan dan antrean panjang terjadi, Bahlil Lahadalia tetap bersikeras bahwa stok LPG aman. “Distribusi sudah kami atur dengan baik,
” ujarnya dalam sebuah konferensi pers. Namun, pernyataan tersebut dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap fakta di lapangan. Sikap defensif ini memicu kritik tajam dari berbagai pihak yang menyebut kebijakan ini tidak berlandaskan riset mendalam dan mengabaikan kebutuhan rakyat.
Melihat kekacauan yang terus meluas, Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan. Ia memerintahkan Bahlil untuk mengaktifkan kembali pengecer sambil memperbaiki sistem distribusi. Namun, banyak pihak menilai langkah ini terlambat.
“Krisis ini adalah cermin buruknya koordinasi antarinstansi dan lemahnya mitigasi risiko dalam perumusan kebijakan,” ungkap seorang pengamat energi.
Kebijakan yang semula dirancang untuk menertibkan distribusi justru menambah beban hidup rakyat kecil. Di satu sisi pemerintah menggaungkan narasi kemandirian energi, namun di sisi lain kebijakan yang diambil malah menyulitkan masyarakat miskin. Kisah Yonih menjadi simbol kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya.
Kini, publik menanti apakah pemerintah benar-benar akan belajar dari krisis ini atau sekadar menjalankan pola ‘damage control’ tanpa perbaikan berarti. Yang jelas, kepercayaan rakyat terhadap tata kelola energi telah tergerus oleh kebijakan yang jauh dari prinsip people-centered policy.