SURABAYA | matarakyat.net – Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, menjadi sorotan tajam masyarakat terkait dugaan pemecatan seorang dokter spesialis bedah di RSUD Dr. Soewandhie.
Kasus ini memunculkan kritik luas, terutama setelah Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa tindakan pemecatan tersebut melanggar hukum dan harus segera dibatalkan.
Kasus ini bermula dari laporan staf bawahannya yang menuding bahwa dokter ahli bedah, Dr. Totok, melakukan operasi tanpa memiliki izin praktik yang sah.
Namun, Dr. Totok membantah tudingan tersebut dengan menyatakan bahwa Surat Tanda Registrasi (STR)-nya masih berlaku. Ia menegaskan bahwa tindakannya semata-mata bertujuan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Kejadian ini mencapai puncaknya ketika Satpol PP Kota Surabaya disebut mengusir Dr. Totok dari ruang operasi saat sedang menangani pasien.
Tindakan tersebut memicu kemarahan publik, yang menilai hal itu tidak manusiawi dan membahayakan keselamatan pasien.
Dr. Totok mengungkapkan rasa prihatinnya atas tindakan yang ia alami. Dalam wawancara dengan media, ia menyatakan bahwa pengabdian kepada masyarakat seharusnya dihargai, bukan diperlakukan secara kasar.
“Ini benar-benar terjadi pada saya. Padahal, sebagai dokter, saya siap melayani kapan saja selama dibutuhkan. Jika seorang dokter saja diperlakukan seperti ini, bagaimana dengan warga biasa? Saya berharap ke depan kita memiliki pemimpin yang lebih menghargai kemanusiaan,” tutur Dr. Totok.
Ia juga menegaskan bahwa putusan Mahkamah Agung sudah final dan mengikat. Menurutnya, Pemkot Surabaya, yang telah kalah dalam tiga kali persidangan hingga upaya Peninjauan Kembali (PK), wajib mematuhi hukum.
“Pihak pemkot sudah kalah tiga kali, bahkan PK mereka ditolak oleh MA. Putusan inkrah sudah ditetapkan pada 24 Oktober 2024. Walikota wajib mematuhi putusan ini dan segera melaksanakan eksekusi,” tegasnya.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan besar tentang gaya kepemimpinan Eri Cahyadi. Banyak pihak menilai tindakan keras terhadap Dr. Totok mencerminkan arogansi kekuasaan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Masyarakat juga menyoroti bagaimana pendekatan Pemkot Surabaya dalam menangani kasus ini dapat mencoreng reputasi pelayanan kesehatan di kota tersebut.
“Seorang dokter sedang menyelamatkan nyawa, tetapi diusir dengan kasar. Ini tidak hanya merugikan dokter, tetapi juga berpotensi membahayakan pasien,” ungkap salah satu warga Surabaya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Wali Kota Surabaya maupun Pemkot belum memberikan tanggapan resmi terkait putusan Mahkamah Agung atau langkah eksekusi yang akan diambil. Upaya media untuk mewawancarai Penjabat Wali Kota juga belum membuahkan hasil.
Kasus ini menjadi perhatian luas karena tidak hanya melibatkan isu hukum, tetapi juga aspek moralitas dan etika kepemimpinan.
Kejadian ini menjadi ujian serius bagi Eri Cahyadi untuk menunjukkan komitmen terhadap supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi para tenaga medis yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat.
Polemik ini juga menyiratkan pesan kuat bagi masyarakat Surabaya: pentingnya memilih pemimpin yang adil, bijak, dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan dalam Pilkada 2024 mendatang.